Morotai, 12 Mei 2025 – Dalam upaya memperkuat perlindungan anak dan menciptakan lingkungan yang aman dan ramah anak, Stimulant Institute bersama Save the Children Indonesia melalui Program KREASI menggelar Pelatihan Manajemen Kasus bagi Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (TPPK-SP) batch kedua. Kegiatan ini dilaksanakan secara bersamaan dengan aktivasi Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di Kecamatan Morotai Timur.
Pelatihan berlangsung pada 12–14 Mei 2025 di SD Negeri Unggulan 3 Pulau Morotai, dan secara resmi dibuka oleh Camat Morotai Timur, Jainuddin Pajula. Dalam sambutannya, beliau menekankan pentingnya peran kolaboratif masyarakat dalam upaya perlindungan anak. “Orang tua dan guru adalah pilar utama dalam proses tumbuh kembang anak. Perhatian dan dukungan dari orang tua, serta edukasi dari guru yang menciptakan lingkungan aman, sangat penting agar anak terlindungi dari kekerasan fisik maupun psikis dan mampu berkembang secara optimal,” tegas Jainuddin.
Salah satu tantangan yang diangkat dalam pelatihan berasal dari pengalaman guru di MIN 1. Aulia dan Inria mengungkapkan bahwa kasus perundungan antar siswa masih sering terjadi. Selama ini, guru hanya memberikan teguran lisan, namun belum efektif mengubah perilaku anak. Tantangan semakin besar dirasakan oleh guru muda yang masih kesulitan mendapatkan respek dari peserta didik.
Meski begitu, para guru merasa pelatihan ini sangat bermanfaat. “Kami jadi tahu bagaimana penerapan TPPK-SP yang benar, termasuk peran dan tanggung jawab kami sebagai pendidik dalam mencegah serta menangani kekerasan di sekolah,” ujar salah satu guru peserta pelatihan. Sebagai tindak lanjut, para guru akan mengadakan pertemuan dengan orang tua murid guna menyamakan persepsi tentang pentingnya perlindungan anak yang konsisten, tidak hanya di sekolah, tetapi juga di rumah.
Dukungan serupa juga datang dari perangkat Desa Wewemo. Ibu Mumut, guru PAUD sekaligus perwakilan desa, mengaku mendapatkan banyak pengetahuan baru. Selama ini, ia telah menerapkan pendekatan lembut di PAUD. Namun, secara jujur ia menyebut bahwa pada anaknya sendiri yang duduk di kelas 1 SD, ia masih menggunakan cubitan sebagai bentuk hukuman. “Ilmu yang saya dapat hari ini menjadi refleksi penting. Ternyata perlindungan anak tidak cukup diterapkan di sekolah saja, tapi harus dimulai dari rumah,” ujarnya. Melalui pelatihan ini, diharapkan kapasitas kepala sekolah dan anggota TPPK-SP dalam memahami hak-hak anak dan upaya perlindungan dari kekerasan semakin meningkat. Selain itu, pelatihan ini juga mendorong penyusunan SOP perlindungan anak di sekolah dan pembentukan sistem rujukan berkelanjutan.
Tidak hanya fokus di sekolah, perlindungan anak juga diperkuat di tingkat desa melalui aktivasi PATBM. Gerakan PATBM melibatkan warga desa secara aktif dan terkoordinasi untuk mencegah dan menangani kekerasan terhadap anak. Para aktivis desa ini didorong untuk menjadi penggerak kegiatan masyarakat yang peduli pada isu perlindungan anak. Dengan sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga, diharapkan tercipta sistem perlindungan anak yang komprehensif dan berkelanjutan di Kabupaten Pulau Morotai.(Red/SI)