25 Juni 2025 /
764 Viewers

Guru dan Akademisi Bersatu Kuatkan Implementasi Kurikulum Merdeka di Morotai

Morotai, 25 Juni 2025. Perkembangan ilmu pengetahuan yang kian pesat menuntut dunia pendidikan untuk terus berinovasi dan beradaptasi. Kurikulum Merdeka, yang mulai diterapkan sejak 2022, hadir sebagai jawaban atas kebutuhan zaman. Namun, di daerah-daerah 3T seperti Morotai, implementasinya masih menghadapi sejumlah tantangan serius.

Melihat kesenjangan tersebut, Stimulant Institute bersama Save the Children Indonesia, melalui program KREASI, menggelar kegiatan Identifikasi Kesenjangan Kurikulum Merdeka. Kegiatan ini melibatkan 43 peserta yang terdiri dari kepala sekolah SD dan PAUD, Master Teacher terlatih, staf Dikdasmen Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, perwakilan Kantor Kementerian Agama, serta akademisi dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pasifik Morotai (Unipas).

Diskusi yang difasilitasi oleh tim teknis dari Kantor Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Provinsi Maluku Utara serta Master Teacher Kepemimpinan Kepala Sekolah ini menjadi ruang refleksi sekaligus sarana belajar bersama. Para peserta tampak antusias berbagi pengalaman dan berdiskusi aktif terkait penerapan Kurikulum Merdeka di lapangan.

Salah satu sorotan penting dalam kegiatan ini adalah minimnya akses informasi terkait Platform Merdeka Mengajar (PMM). Banyak guru madrasah baru mengetahui bahwa PMM bisa diakses melalui SIMPATIKA. Sebelumnya, mereka mengira platform ini hanya diperuntukkan bagi sekolah di bawah Kemendikbud. Akibatnya, pemanfaatan PMM belum optimal, padahal platform ini menjadi kunci penting dalam memahami dan menerapkan Kurikulum Merdeka secara menyeluruh.

Pendidikan karakter juga menjadi bahasan penting. Guru mengungkapkan kesulitan dalam menanamkan nilai-nilai karakter karena kurangnya dukungan dari lingkungan rumah. Banyak orang tua masih menganggap pendidikan adalah tanggung jawab sepenuhnya sekolah. Untuk menjembatani kesenjangan ini, peserta mulai merancang strategi kolaboratif seperti penggunaan buku penghubung, dialog rutin, hingga kampanye kesadaran peran bersama antara guru dan orang tua.

Isu lainnya adalah kebingungan antara modul proyek dan modul ajar. Banyak guru kesulitan membedakan keduanya. Melalui sesi pelatihan, mereka akhirnya memahami bahwa modul proyek digunakan untuk pembelajaran kontekstual dan menyenangkan, sekaligus menjawab capaian belajar yang belum tuntas. Sementara itu, modul ajar berfungsi sebagai panduan dalam pembelajaran rutin.

Tak hanya membahas teori, kegiatan ini juga membekali peserta dengan praktik langsung dalam menyusun Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP), modul ajar, dan modul proyek. Dengan pendekatan praktis ini, guru didorong untuk merancang pembelajaran yang lebih kontekstual, adaptif, dan berpusat pada kebutuhan siswa.

Akademisi dari Unipas pun mengapresiasi keterlibatan mereka dalam kegiatan ini. “Biasanya kami hanya mengajarkan teori kurikulum di kelas. Tapi dalam kegiatan ini, kami bisa memahami langsung proses pengembangan modul ajar yang sesungguhnya. Ini sangat membuka wawasan kami,” ujar salah satu dosen peserta dalam diskusi terbatas.

Sebagai hasil dari kegiatan ini, para peserta menyusun berbagai strategi tindak lanjut, seperti penguatan literasi digital untuk akses PMM, pelibatan aktif orang tua dalam pendidikan karakter, serta pengembangan proyek pembelajaran yang relevan dengan konteks lokal.

Program KREASI tidak hanya memperluas wawasan para pendidik, tetapi juga memperkuat kapasitas teknis mereka dalam menghadapi tantangan implementasi Kurikulum Merdeka. Langkah-langkah kolaboratif ini diharapkan mampu mendorong terciptanya pendidikan yang lebih adil, relevan, dan transformatif, khususnya di wilayah-wilayah tertinggal seperti Morotai. (SI/Red)